1. Pengertian Fiqh al-Hadits
Kata fiqh (فقه), secara etimologi berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya”. Kata fiqh sudah menjadi istilah yang ekslusif dipakai untuk menunjukan salah satu disiplin ilmu ke-Islam-an. Karena itu, dapat dilihat batasannya sebagai “ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci”. Tetapi kata fiqh yang dimaksudkan di sini, adalah kata fiqh dalam makna dasarnya. Kata ini sebanding dengan kata fahm (فهم) yang juga bermakna memahami. Dengan demikian, maka fiqh al-hadits dapat dikatakan sebagai salah satu aspek ilmu hadits yang mempelajari dan berupaya memahami hadits-hadits Nabi dengan baik. Dimaksudkan dengan baik adalah mampu menangkap pesan-pesan keagamaan sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Nabi (murad al-Nabi). Pesan-pesan keagamaan tersebut terutama sekali yang tersirat, baru dapat ditangkap bila dilakukan dengan usaha penggalian makna dan dilalah. Karena itu, mengetahui makna lahir redaksi hadits, belum tentu dapat menyampaikan seseorang kepada apa yang diinginkan oleh Rasulullah SAW. Contoh:
2526 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ وَاصِلٍ الْكُوفِىُّ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَابِدُ الْكُوفِىُّ حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ النُّعْمَانِ اللَّيْثِىُّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مِسْكِينًا وَأَمِتْنِى مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِى فِى زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya:“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikanlah aku dalam keadaan miskin dan himpunlah aku pada hari kiamat nanti bersama orang-orang miskin.”
Secara tekstual Nabi terkesan mengajarkan kepada umatnya agar hidup dalam kekurangan harta. Tapi apakah benar itu yang dimaksudkan oleh Nabi? Tampaknya yang dimaksudkan oleh Nabi bukanlah kemiskinan dalam arti kekurangan harta. Sebab bila ini yang dimaksudkan oleh Nabi, maka kita akan sulit memahaminya, karena akan bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang lainnya yang meminta perlindungan kepada Allah dari kufur dan fakir atau peringatan Nabi bahwa lebih baik meninggalkan anak-anak cucu dalam keadaan berkecukupan dari pada meminta-minta kepada orang lain, serta hadits-hadits yang memuji orang kaya yang takwa. Di sisi lain, pemahaman yang hanya terbatas pada tekstual hadits, terkadang menimbulkan kekeliruan dan kerancuan.
Contoh:
2196 - حدثنا عبد الله بن يوسف حدثنا عبد الله بن سالم الحمصي حدثنا محمد ابن زياد الألهاني عن أبي أمامة الباهلي قال : ورأى سكة وشيئا من آلة الحرث فقال سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول ( لا يدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذل ) [ ش ( سكة ) الحديدة التي تحرث بها الأرض . ( آلة الحرث ) آلات الزراعة . ( هذا ) إشارة إلى السكة والآلة . ( أدخله الذل ) وذلك أن أقبلوا على الزراعة بحيث شغلتهم عن الجهاد والقيام بما لزمهم من واجبات دينية ]
Artinya:”Tidaklah benda seperti ini (alat pertanian) masuk ke rumah suatu kaum, melainkan Allah akan memasukkan kehinaan kepadanya”.
Jelas sekali bahwa makna teks hadits tersebut mencela pekerjaan bertani dan bercocok tanam, sehingga bagi pelakunya dinyatakan akan diberi kehinaan. Tetapi, pemahaman seperti ini akan menimbulkan kerancuan-kerancuan. Pertama, ada beberapa hadits Nabi yang memuji pekerjaan bertani atau bercocok tanam. Nabi bersabda:
2195 - حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا أبو عوانة ( ح ) وحدثني عبد الرحمن بن المبارك حدثنا أبو عوانة عن قتادة عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة )
Artinya:”Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman kemudian dimakan oleh burung atau orang atau binatang melainkan (apa yang dimakannya) itu menjadi sedekah”.
Hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika kiamat tiba, sedang ditanganmu terdapat setangkai benih, bila kau mampu menanamnya, maka tanamlah ia (Musnad Abdul Humaid, Juz I: 366). Kedua, sejarah membuktikan bahwa orang-orang Anshar—karena kesuburan tanahnya—kebanyakan mereka memiliki mata pencaharian bertani. Nabi tidak melarang mereka bertani, bahkan al-Qur’an memberi legalitas dengan pekerjaan pertanian dengan mewajibkan membayar zakat sebesar 10% bagi tanaman biji-bijian yang mengenyangkan yang tumbuh dari siraman air hujan dan 5% bagi tanaman yang diairi.
Pesan-pesan Nabi yang terkandung dalam redaksi-redaksi hadits, tidak saja harus digali dan dirumuskan sebagai suatu ajaran praktis, tapi juga lebih jauh dari itu adalah tuntutan penyesuaian dan pengembangan pesan-pesan Nabi dalam lingkup yang lebih luas adalah hal yang paling mendesak. Hal ini mengingat rentang waktu yang jauh antara dunia Nabi dengan dunia kini dapat membuat hadits-hadits Nabi menjadi tidak lagi relevan. Sementara di sisi lain, perkembangan kehidupan dan perilaku umat juga semakin berkembang dan kompleks.
Usaha penggalian, pemahaman dan perumusan ajaran Islam dari hadits-hadits Nabi, di kalangan ahli hadis, disebut juga dengan istilah fiqh al-hadits atau syarh al-hadits. Hasil-hasil penggalian dan penjelasan terhadap hadits-hadits ini ditulis dalam kitab-kitab syarh oleh para ulama. Dalam kerangka teoritis ilmu hadits, pemahaman terhadap hadits-hadits Nabi baru dilakukan setelah hadits-hadits yang diperoleh berada dalam kategori maqbul (diterima validitasnya sebagai riwayat yang bersumber dari hadits-hadits Nabi).
2. Posisi Fiqh al-Hadits
Dari sekian aspek-aspek kajian ilmu hadits, fiqh al-hadits merupakan dimensi yang tidak kalah pentingnya setelah ilmu dirayah dan musthalah hadits. Hal ini karena fiqh al-hadits adalah kajian yang mencoba menggali dan memahami ajaran yang terkandung dalam hadits-hadits Nabi untuk dapat diamalkan. Apresiasi terhadap Islam tidak hanya cukup dengan mengetahui adanya pesan-pesan Allah SWT dan Rasul serta memperagakan ketaatan semata, tetapi juga lebih jauh dari itu, yakni kemampuan menangkap dan memahami pesan-pesan yang terkandung di balik redaksi al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Kemampuan inilah sebetulnya yang paling penting dalam mencuatkan dan meneguhkan karakter agama yang moderat, tidak memberatkan dan selalu selaras dengan ruang dan waktu manapun. Sejak masa awal, para sahabat telah memperlihatkan kemampuan menangkap pesan-pesan di balik redaksi yang disampaikan oleh Nabi. Karena itu, seperti Aisyah dan Umar bin Khatab terlihat lebih maju dalam memahami hadits-hadits Nabi, bahkan secara lahir terkesan meninggalkan hadits. Hal ini berlanjut pada generasi-generasi berikutnya sampai pada imam-imam madzhab dalam bidang fiqh, terutama sekali dari kalangan madzhab Hanafi sehingga mereka digelar dengan ahlu al-ra’yi. Pada zaman Nabi para sahabat tidak terlalu sulit memahaminya. Sebagian besar mereka mengetahui asbab al-wurud (latar belakang disabdakannya hadits Nabi), bahkan mereka dapat saja mengkonfirmasikan apa yang mereka terima sebagai hadits kepada Nabi. Aisyah misalnya, bila ia tidak memahami apa yang disampaikan Nabi karena hadits tersebut terasa bertentangan al-Qur’an, ia langsung meminta penjelasan kepada Nabi.
103 - حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أخبرنا نافع بن عمر قال حدثني ابن أبي ملكية : أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم كانت لا تسمع شيئا لا تعرفه إلا راجعت فيه حتى تعرفه وأن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( من حوسب عذب ) . قالت عائشة فقلت أوليس يقول الله تعالى { فسوف يحاسب حسابا يسيرا } . قالت فقال ( إنما ذلك العرض ولكن من نوقش الحساب يهلك )
Artinya:”Diriwayatkan dari Aisyah RA katanya: Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang dihisab pada hari Kiamat niscaya dia akan diazab. Aisyah berkata: Lalu aku bertanya: Bukankah Allah SWT telah berfirman: Maka ia akan dihisab dengan hisab yang mudah? Rasulullah SAW bersabda: Itu hanyalah pembentangan, tetapi orang-orang yang diteliti hisabnya maka dia celaka (mendapat azab)”.
3. Kebutuhan yang semakin mendesak
Tetapi setelah berlalu beberapa generasi, sebagian hadits-hadits Nabi mulai tampak sulit dipahami (musykil), baik karena kata-kata yang ada dalam redaksi hadits itu sulit dipahami karena asing atau juga karena sulit dipahami ketika berada dalam konteks redaksi tertentu (gharib) maupun karena dipandang bertentangan satu sama lainnya (mukhtalif). Pada abad modern saat ini, hadits-hadits tidak hanya dipandang bertentangan satu sama lainnya, tetapi juga dipandang bertentangan dengan logika dan pengetahuan modern.
Hadits tentang lalat misalnya menuai banyak komentar sarjana karena dipandang bertentangan dengan pengetahuan modern. Nabi bersabda:
5445 - حدثنا قتيبة حدثنا إسماعيل بن جعفر عن عتبة بن مسلم مولى بني تيم عن عبيد بن حنين مولى بني زريق عن أبي هريرة رضي الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( إذا وقع الذباب في إناء أحدكم فليغمسه كله ثم ليطرحه فإن في أحد جناحيه شفاء وفي الآخر داء ) [ ر 3142 ]
Artinya: “Hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika seekor lalat jatuh ke dalam minuman kamu, maka benamkanlah (lalat itu sepenuhnya dalam minuman itu) dan kemudian buanglah (lalat) itu. Karena sesungguhnya pada sebelah sayapnya terdapat penyembuh manakala pada sebelah yang lain terdapat penyakit”.
Muhammad Rasyid Ridha, seperti yang diungkap oleh Juynboll (1999: 207), menyatakan hadits ini terdapat kejanggalan, karena dua alasan: pertama, dari sisi Rasul, hadits ini melanggar dua prinsip utama, yaitu: tidak menasehati agar menghindari sesuatu yang buruk dan tidak menasehati agar menghindarkan diri dari sesuatu yang kotor. Kedua, kemajuan ilmu pengetahuan tetap tidak mampu mengetahui apakah bedanya antara sayap lalat yang satu dengan sayap yang satu lagi. Jika perawinya tidak membuat kesalahan dalam meriwayatkan matannya, maka hadits itu harus dipandang sebagai ilham dari Allah. Sementara Muhammad Taufiq Shidqi menyatakan hadits ini sulit dipahami tidak saja karena bertentangan dengan pengetahuan modern, tetapi juga dengan hadits Nabi di mana beliau bersabda: “Bila menteganya padat, buanglah tikus itu dan mentega bekas tikus itu dan sisanya dapat kamu makan, tetapi bila menteganya sudah mencair, buanglah menteganya dan jangan disentuh.”Tikus dan lalat sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Maka sulit untuk mempercayai, kata Shidqi, bahwa hadits ini diucapkan oleh Nabi (Joynboll, 1999: 206). Demikian pula hadits yang menyatakan matahari, bila telah malam, ia pergi sujud kepada Tuhannya. Hadits ini dipandang oleh sebagian orang benar-benar bertentangan dengan pengetahuan modern.
3027 - حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان الأعمش عن إبراهيم التيمي عن أبيه عن أبي ذر رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لأبي ذر حين غربت الشمس ( تدري أين تذهب ) . قلت الله ورسوله أعلم قال ( فإنها تذهب حتى تسجد تحت العرش فتستأذن فيؤذن لها ويوشك أن تسجد فلا يقبل منها وتستأذن فلا يؤذن لها يقال لها ارجعي من حيث جئت فتطلع من مغربها فذلك قوله تعالى { الشمس تجري لمستقر لها ذلك تقدير العزيز العليم } [ 4524 ، 4525 ، 6988 ، 6996 ]
Artinya:”Dari Abu Dzar RA katanya: Nabi SAW bersabda kepadanya: ketika matahari tenggelam: Tahukah kamu ke mana perginya (matahari di malam hari)?” Saya (Abu Dzar) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ia pergi sehingga sujud di bawah ‘Arsy. Ia meminta izin maka diizinkannya. Lalu ia segera untuk bersujud lagi tetapi tidak diterima darinya, lalu ia meminta izin lagi namun ia tidak diperkenankan. Dikatakan kepadanya: Kembalilah dari mana kamu datang. Maka ia muncul (terbit) dari tempat ia tenggelam (terbenam). Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: Dan matahari, ia beredar ke tempat yang ditetapkan baginya; itu adalah takdir Tuhan yang Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui.”[Yasin 36:38].
Kesulitan memahami hadits ini, disebabkan beberapa hal: pertama, kesan yang ditimbulkan dalam hadits ini adalah matahari yang bergerak berputar yang menyebabkan malam. Sedangkan pengetahuan modern menyebutkan terjadinya malam dan siang adalah akibat perputaran bumi pada rotasinya. Kedua, matahari tidak pernah benar-benar tidak tampak di seluruh dunia. Ketiga, matahari disebutkan terbit kembali di tempat terbenamnya. Dua hadits ini adalah contoh dari beberapa hadits musykil karena dipandang bertentangan dengan pengetahuan modern. Dalam pandangan yang lebih ekstrim, hadits-hadits semisal ini, disikapi secara skeptis, bahkan ditolak keberadaannya sebagai sesuatu yang bersumber dari Rasulullah. Tiba di sini, maka perawi-perawi hadits tingkat sahabat seperti Abu Hurairah dan lain-lainnya, menjadi kritikan yang sangat empuk bagi sebagian sarjana. Dalam kasus hadits tentang lalat di atas misalnya, oleh Taufiq Shidqi, Abu Hurairah sebagai perawi hadits tersebut dipandang memiliki penyakit epilepsi, suatu penyakit yang dapat mempengaruhi otak (Juynboll, 1999: 207). Demikian pula Fatimah Mernissi -feminis muslim asal Maroko- yang mengkritik beberapa hadits yang terkesan menyudutkan dan merendahkan derajat kaum wanita yang lebih dikenal dengan istilah hadits-hadits misoginis (Fatimah Mernissi, 1991: 53), juga menyudutkan perawi-perawi tingkat sahabat. Ketika mengkritik hadits tentang larangan wanita menjadi pemimpin, ia merasa sangat heran dengan daya ingat Abu Bakrah -sahabat periwayat hadits ini- yang sangat mempesona. Bahkan menjadi sangat sulit mempercayainya ketika hadits ini baru muncul kemudian. Demikian pula hadits yang menyatakan bahwa kesialan itu ada pada tiga hal: ada pada kuda, wanita dan rumah (Al-Bukhari, Juz III: 1049), sekali lagi perawi pada tingkat sahabat, dalam hal ini adalah Abu Hurairah menjadi objek kritiknya. Menurutnya Abu Hurairah -dari sisi ke-dhabit-annya- adalah pribadi yang kontroversial. Tidak ada kesepakatan bahwa dia merupakan sumber yang dapat dipercaya. Tidak terkecuali dalam persoalan hadits ini, ia mengutip sebuah rujukan karya Imam Zarkasyi al-Ijabah fi ma Istadrakat ‘Aisyah ‘ala al-Shahabah -sebuah karya yang memuat koreksi Aisyah terhadap hadits atau pendapat dari para sahabat- yang menyatakan bahwa Abu Hurairah keliru dalam menangkap penjelasan Nabi pada bagian akhirnya saja. Sebenarnya Nabi menyatakan: “Semoga Allah membuktikan kesalahan kaum Yahudi yang mengatakan bahwa yang membawa kesialan itu ada tiga, yaitu rumah, wanita dan kuda (FatimaH Mernissi, 1991 b: 78).
4. Memahami masa yang berbeda
Hadits-hadits Rasul adalah kontekstual dan komunikatif pada zamannya, tetapi setelah begitu jauh berlalu jarak antara masa Nabi dengan dunia modern sekarang ini, membuat sebagian hadits-hadits tersebut terasa tidak lagi komunikatif dengan realitas zaman kekinian. Hal ini wajar karena hadits lebih banyak sebagai penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons persoalan dan pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian ia merupakan interpretasi Nabi SAW yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka menguatkan kembali fiqh al-hadits dengan berbagai metode dan pendekatan untuk memahami kembali hadits-hadits Nabi dalam dunia modern dirasa cukup mendesak. Pemahaman kembali terhadap hadits-hadits Nabi ini dimaksudkan dalam rangka mempertahankan dan membela hadits-hadits selama hadits-hadits tersebut secara ilmu hadits dapat dikatakan dapat diterima validitasnya sebagai sesuatu yang bersumber dari Rasulullah (maqbul). Pemahaman juga bertujuan tidak hanya sebatas mengkomunikatifkan dengan realitas zaman, tetapi juga mengembangkan makna-makna sejauh yang dapat dijangkau oleh redaksi hadits. Karena itu, memanfaatkan berbagai teori dari berbagai disiplin ilmu merupakan langkah positif dan maju dalam memahami kembali hadits-hadits Nabi dalam dunia modern. Perkembangan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah dan filsafat sangat membantu dalam memahami kembali hadits-hadits Nabi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar