a. Pengertian Ilmu Al-jarh Wa al-Ta‘dil
Menurut etimologi al-jarh berasal dari akar kata jaraha-yajrihu yang berarti luka atau menolak (mis: kesaksian seseorang), sedangkan secara terminologi al-jarh berarti terlihatnya karakter periwayat yang berimplikasi adanya anggapan hilangnya sifat adil dan lemahnya hafalan periwayat, yang berakibat cacatnya hadis yang ia riwayatkan.
al-‘adl (adil) dalam etimologi bermakna suatu karakter yang konsisten, tidak sewenang-wenang, atau lalim yang berada dalam diri seseorang, sedangkan al-‘adl secara terminology adalah suatu karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri seseorang. Lalu makna dari istilah al-ta‘dil sendiri adalah pengakuan terhadap seorang periwayat dengan sifat-sifat yang mengharumkan namanya, sehingga nampak sifat adilnya dan hadis yang ia riwayatkan dapat diterima. Jadi Ilmu Jarh wa Ta‘dil adalah ilmu yang membahas keadaan periwayat dari sisi diterima atau ditolak periwayatannya.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi periwayat, yaitu: adil[1] dalam arti; muslim, berakal, balighh, bebas dari faktor-faktor yang menyebabkan kefasikan serta hancurnya harga diri –yang terkait dengan dimensi moral-, dlabit, kuat hafalan (bukan pelupa), hafal terhadap hadis yang ia riwayatkan, dan memahami makna yang terkandung –yang terkait dengan dimensi intelektual[2].
b. Kaidah Penerapan
Ketika sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui dengan jalan meriwayatkan hadis, maka para ulama mulai meneliti keadaan (semua sifat) para periwayat hadis. Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian dari periwayat hadis, yaitu:[3]
1) Al-Amanah wa al-Nazahah; dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan periwayat, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Syrin: “saya telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
2) Al-Diqqah fi al-Bahs wa al-Hukm; dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti keadaan periwayat yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan keadaan para periwayat, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para periwayat atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya periwayat yang berangkat dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.
3) Iltizam ‘ala al-Adab fi al-Jarh; dalam artian para ulama jarh wa ta‘dil –dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang paling tajam kepada periwayat hanya memakai ungkapan “fulan adalah orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.
4) Al-Ijmal fi al-Ta‘dil wa Tafsil fi al-Tarjih; dalam artian, mereka -ulama jarh wa ta‘dil- selalu menjelaskan sifat adil seorang periwayat secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya), seperti: ia bisa dipercaya, ia adil, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh periwayat selalu terperinci, seperti: pelupa, pembohong, fasik, dan lain sebagainya.
Seseorang yang menjadi kritikus periwayat haruslah mempunyai sifat-sifat alim, bertakwa, wara’, jujur, tidak memiliki aib, dan kritikan yang ditujukan pada periwayat tidak berdasarkan pada fanatisme.[4] Walaupun demikian, para ulama kritikus periwayat kadang kala berbeda pendapat di dalam menilai seorang periwayat. Sebagian mereka ada yang menganggap adil dan sebagian yang lain mengatakan tidak, Dalam hal ini ada tiga pendapat:
a) Mendahulukan jarh dari ta‘dil. Walaupun yang mengatakan adil itu lebih banyak daripada yang menganggap jarh, karena jarih melihat apa yang tidak dilihat oleh mu’addil, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.[5]
b) Mendahulukan ta‘dil dari jarh ketika mu’addil lebih banyak, karena melihat pada sisi kuantitas. Pernyataan tersebut tertolak dikarenakan para mu’addil –sekalipun banyak tidak akan mengungkapkan apa yang dinyatakan oleh para jarih.
c) Tidak diunggulkan salah satunya (mauquf), kecuali ada indikasi yang bisa membuat salah satunya menjadi unggul.
c. Sighat al-Ta‘dil dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Hadis
Tingkatan lafad-lafad ta‘dil[6]
1) Lafad yang menunjukkan arti sangat tsiqahnya periwayat
(المبالغة في التوثيق) atau dengan menggunakan wazan أفعل, dan ini merupakan tingkatan lafad yang paling tinggi, sebagai contoh:
ü saya tidak pernah lihat orang yang setingkat dengannya di dunia ini لاأعرف له نظيرا في الدنيا))
ü ia adalah orang yang paling terpercaya (هو أوثق الخلق)
2) Lafad yang ditegaskan dengan satu sifat atau lebih yang menunjukkan ketsiqahan periwayat, semisal: ثقة ثقة, ثقة حافظ, ثقة مأمون.
3) Lafad yang menunjukkan ketsiqahan periwayat dengan tanpa adanya penegasan, semisal: ثقة, حجة, ثبت.
4) Lafad yang menunjukkan ta‘dil dengan tanpa adanya verifikasi (dlabt), semisal: صدوق (si fulan adalah orang yang dipercaya), لا بأس به (menurut selain daripada Ibn Ma'in) jika lafad tersebut diucapkan oleh Ibn Ma'in pada seorang periwayat maka ia termasuk periwayat yang tsiqah.
5) Lafad yang tidak menunjukkan pernyataan tauthiq ataupun tajrih, semisal: si fulan adalah seorang syaikh (فلان شيخ).
6) Lafad yang lebih mengarah pada tajrih, semisal: si fulan adalah orang yang kapabel dalam urusan hadis (فلان صالح الحديث), hadisnya tertulis (يكتب حديثه)
Catatan: [7]
a) Tiga tingkatan yang pertama adalah lafad-lafad yang bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang periwayat, sekalipun sebagian lafad lebih kuat daripada yang lain.
b) Adapun tingkatan yang ke-4 dan yang ke-5 tidak bisa dijadikan argumen bagi ketsiqahan seorang periwayat, namun hadisnya tetap ditulis dan diuji,[8] sekalipun periwayat pada tingkatan yang ke-5 berada dibawah tingkatan ke-4.
c) Sedangkan tingkatan yang ke-6 juga tidak bisa menjadi argumen bagi kethiqahan seorang periwayat, namun hadithnya tetap ditulis sebagai bentuk prestise semata, dengan tanpa tes uji kesahihan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya standarisasi (kedlabitan) sebagai seorang periwayat.
d. Sighat Al-Jarh dan Implikasinya Terhadap Eksisitensi Hadis
Tingkatan lafad-lafad jarh: [9]
1) Lafad yang menunjukkan kelemahan (تليين), ini adalah tingkatan jarh yang teringan, semisal: فلان لين الحديث(si fulan adalah orang yang lemah dalam bidang hadis), فى حديثه ضعف (dalam hadisnya terdapat kelemahan)
2) Lafad yang diuraikan dengan tanpa dalih atau yang menyerupainya, semisal: periwayat adalah orang yang lemah (فلان واه), para ahli hadis menganggapnya sebagai seorang yang lemah (ضعفوه).
3) Lafad yang diuraikan dengan tanpa adanya teks hadis yang telah ia riwayatkan atau yang semisalnya, contohnya: si fulan tidak boleh ditulis hadis-nya ((فلان لا يكتب حديثه, hadis yang ia riwayatkan tidaklah benar.
4) Lafad yang menunjukkan kecurigaan terhadap adanya kemungkinan kebohongan atau semisalnya pada diri si periwayat. Contohnya: si fulan adalah seorang yang dicurigai telah melakukan kebohongan (فلان متهم بالكذب), ia telah mencuri hadis يسرق الحديث))
5) Lafad yang menunjukkan periwayat memiliki sifat pembohong atau semisalnya, contohnya: si fulan adalah orang yang banyak melakukan kebohongan.
6) Lafad yang membesar-besarkan kebohongan dari periwayat atau semisalnya, ini adalah tingkatan jarh yang terburuk. Contohnya: si fulan adalah manusia yang paling banyak berdusta ((فلان أكذب الناس
Catatan: [10]
i. Pada periwayat tingkatan yang pertama dan yang ke-2, hadis mereka tidak bisa dianggap tsiqah, namun sebagai bentuk prestise, hadis yang diriwayatkan akan tetap dicatat, sekalipun periwayat pada tingkatan yang ke-2 lebih rendah daripada yang pertama.
ii. Sedangkan untuk 4 tingkatan terakhir (ke-3, 4, 5, dan 6), hadis mereka tidak bisa dianggap tsiqah, tidak layak untuk dicatat, ataupun dianggap, sebab ia ataupun selainnya tidak layak untuk menguatkan hadis yang diriwayatkan.
[1] Sifat adil dalam periwayatan hadis berbeda dengan sifat adil yang ada pada bab Shahadah (kesaksian), yaitu; dalam hal sifat merdeka (bukan budak), laki-laki, dan jumlah periwayat.
[2] Sifat ‘adalah seorang periwayat bisa ditetapkan dengan 2 hal, yaitu:
1. telah ditetapkan oleh para ulama Jarh dan Ta’dil atau salah satunya dalam kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta’dil.
2. kemasyhuran sifat ‘adalah para periwayat di masyarakat, mungkin karena kejujurannya, keistiqamahannya, atau ketenaran namanya, contohnya: Malik bin Sufyan, al-Auza’iy, al-Laits bin Sa’d, dan lain sebagainya.
Kedlabitan seorang periwayat bisa diketahui apabila hadis yang diriwayatkannya sesuai atau cocok dengan hadis yang tsiqah, dan sedikit perbedaan tidak akan berpengaruh pada ketsiqahan hadis yang ia riwayatkan.
[3] Al-Khatib. Ibid. hlm 260
[4] al-Khatib.Ibid. hlm 268
[5] Jarih adalah ulama yang menganggap seorang periwayat cacat, sedangkan mu’addil adalah sebaliknya.
[6] Tahhan, Mahmud. 1991. Ushul al-Tahrij wa Dirasah al-Asanid. Riyad: Makatabah al-Ma'arif. hlm 144. Lihat juga : al-Khatib. Ibid. hlm 278
[7]Tahhan. Ibid. hlm 145
[8] Kualitas seorang periwayat diteliti dengan cara membandingkan hadis yang diriwayatkan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan olen periwayat yang thiqah. Bila hadis tersebut sesuai dengan hadis yang thiqah, maka hadithnya diakui. berdasarkan hal ini, maka seorang periwayat dapat dipercaya (صدوق) belum bisa diakui hadithnya sebelum melalui tes uji kesahihan.
[9]Tahhan. Ibid. hlm 146 Lihat juga: al-Khatib. Hlm 276
[10] al-Khatib. Ibid. hlm 277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar