PENDAHULUAN
Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah swt. Yang telah memberikan kami nikmat kesehatan, kesempatan dan nikmat-nikmat yang lain, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Jam’u Al-qur’an ini sesuai dengan yang kami harapakan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw. Yang telah membawa umatnya dari zaman yang penuh dengan kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Mengenai pembahasan yang akan kami bahas yaitu pembahasan tentang Jam’u Al-qur’an, tentunya banyak hal yang harus kami jelaskan mengenai pembahasan tersebut, seperti halnya; mulai sejak kapan al-qur’an dikumpulkan, dalam bentuk apa pertama kali al-qur’an dikumpulkan, pada masa siapa saja proses pengumrpulan al-qur’an, dan sampai al-qur’an terkumpul menjadi satu mushaf yang kita kenal dengan Rasm Utsmani. Yang nantinya pembahasan ini dapat menunjang kita agar lebih mudah untuk memahami tentang Jam’u Al-qur’an.
Sehingga dengan adanya pembasan ini, kami berharap paembahasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi kita yang sedang mempelajari tentang Ulumu Al-qur’an.
PENGUMPULAN AL-QUR’AN
1. Pengertian
Para ulama mendefinisikan pengumpulan al-qur’an dengan dua pengertian, yaitu sebagai berikut:
Pertama; pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Sedangkan juma’u al-qur’an artinya hufazhuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang mengafalnya dalam hati) (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:160). Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah kepada nabi Muhammad saw. Dimana nabi selalu menggerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-qur’an ketika al-qur’an diturunkan oleh malaikat jibril kepadanya dan ketika itu malaikat jibril belum selesai membacakannya. Kedua; pengertian dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan al-qur’an semuanya) baik dengan memisah-misah ayat-ayat dan surat-suratnya, atau hanya mengatur susunan tiap surah di dalam suatu shahifah tersendiri (Subhi As-shaleh:1999,73).
2. Pengumpulan Alqur’an dalam konteks Hafalan Pada Masa Nabi
Pada masa ini, nabi Muhammad saw. Amat menyukai wahyau, beliau selalu menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu beliau menghafalkan dan memahaminya seperti yang dijelaskan Allah dalam al-qur’an “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkanya (di dadamu) dan pembacaanya.” (Al-qiyamah: 17). Oleh sebab itu beliau merupakan hafizh al-qur’an yang pertama dan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah islam. Al-qur’an diturunkan dalam kurun waktu yang panjang, dan dalam penurunanya terkadang hanya satu ayat dan terkadang sampai sepuluh ayat. Setiap kali ayat al-qur’an turun, dihafal di dada dan disimpan di dalam hati oleh orang-orang arab, yang diketahui bahwa secara kodrati mereka memang mempunyai daya hafalan yang kuat. Sebab kebanyakan dari mereka buta huruf, sehinggan dalam setiap penulisan berita-berita, syair-syair, dan silsilah mereka dilakukan dengan cara mencatatnya di dalam hati mereka.
Dalama kitab sahehnya Al-Bukhori telah mengemukakan tentang tujuh penghafal al-qur’an dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullan bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil maula Abi Hudzaifah, Muaz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zait bin Sakan dan Abu Al-Darda’. Salah satu dari ketiga riwayat itu adalah;
1. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Al-Ash, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “ambillah al-qur’an dari empat orang sahabatku; Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muaz, dan Ubay bin Ka’ab”. Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin, yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Salim; dan dua orang dari Anshar, yaitu muaz dan Ubay.( Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:152). Dan dua riwayat yang lain bisa dibaca dalam bukunya Syaikh Manna’ Al-Qathhan.
3. Penulisan Alqur’an dalam Konteks Penulisannya pada masa nabi
Dalam penulisan al-qur’an, nabi mengangkat beberapa asisten dari para sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zait bin Tsabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukannya, dimana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:152).
Sebagian sahabat juga menulis al-qur’an atas inisiatif sendiri. pada pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun dan kayu, pelana dan potongan tulang-belulang binatang. Zait bin Tsabit berkata “kami menyusun al-qur’an di hadapan Rosulullah pada kulit binatang. Dan para sahabat senantiasa menyodorkan al-qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Dan tulisan-tulisan al-qur’an pada masa nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya yang ada di tangan seorang sahabat belum tentu ada di tangan sahabat yang lain.
Mengenai pengumpulan al-qur’an pada masa nabi, Al-Zarkasyi berkata, “Al-qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah al-qur’an selesai diturunkan semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah datafsirkan apa yang diriwayatkan oleh Zait bin Tsabit yang mengatakan, “Rasulullah telah wafat, sedang al-qur’an belum dikumpulkan sama sekali”. Maksudnya surat-surat dan ayat-ayatnya belum di kumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Dalam penjelasan diatas sangatlah jelas, bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa nabi hanya bersifat hafalan dan dalam bentuk tulisan-tulisan yang masih terdapat di lembaran-lembara, tulang, kulit, dan lain sebagainya.
4. pengumpulan al-qur’an pada masa Abu Bakar
Abu Bakar menjabat sebagai kholifah pertama dalam islam setelah Rosulullah saw wafat. Ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan perang dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang murtad. Peperangan tersebut (perang Yamamah 12 H) melibatkan sebagian besar sahabat penghafal al-qur’an. Dan dalam peperangan itu tujuh puluh qori’ dari para sahabat gugur. Umar bin Al-khotob merasa sangat khawatir dengan adanya kejadian tersebut, lalu ia menghadap kepada Abu Bakar dan mengajukan usul untuk segera mengumpulkan al-qur’an dan membukukannya karena dikhawatikan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak memakan korban yang kebanyakan adalah para penghafal al-qur’an.
Akan tetapi Abu Bakar menolak usulan ini, karena ia merasa keberatan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi. Namun Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan pintu hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melekukan pengumpulan al-qu’an, karena mengingat kedudukannya dalam masalah qira’at, hafalan, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya dalam pembacaan yag terakhir kali. Pada mulanya Zaid menolak perintah tersebut, keduanya lalu bertukar pendapat, sehingga pada akhirnya Zaid dapat menerimanya dengan lapang dada.
Zaid memulai tugasnya dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra’ dan catatan yang ada pada para penulis. Zaid bertindak sangat teliti dan hati-hati. Baginya tidak cukup hanya bergantung pada hafalan semata tanpa di sertai dengan tulisan. Kemudian lembaran-lembaran al-qur’an yang ditulis oleh Zaid dan disimpan oleh Abu Bakar sampai beliau wafat pada tahun 13 H. Kemudian lembaran-lembaran tersebut berpindah ke tangan Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian lembaran tersebut berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar. Kemudian setelah Utsman menduduki kursi ke kholifahan ia berusaha untuk meminta lembaran-lembaran al-qur’an tersebut dari tangan Hafshah.
Ibnu Abi Daud meriwayatkan mealalui jalur sanat Yahya Bin Abdurrahman Bin Hathib,katanya” Umar datang lalu berkata: Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Al-Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya “. Mereka itu menuliskan Al-Quran pada lembar kertas papan kayu dan papan kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai Al-Qur’an sebelum di saksikan oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu di saksikan oleh orang yang menerimanya secara verbal langsung dari Rasul, sekalipun Zaid hafal. Ia bersifat demikian ini karena sangat berhati-hati
Assakhawi menyebutkan dalam jamal qurra’, yang di maksudkan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu di tulis di hadapan Rasulullah, atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Al-Quran di turunkan
Kita sudah mengetahui bahwa Al-Qur’an sudah tercatat sebelum pada masa itu yaitu pada masa nabi, hanya saja pada masa nabi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelapah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catan tersbut dalam satu mushab, dengan ayat-ayat dan surat-surat yang tersusun serta di tuliskan dengan berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Al- Qur’an di turunkan. Dengan demikian Abu Bakar merupakan orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushab, di samping terdapat mushab-mushab peribadi pada sebagian sahabat seperti mushab Ali, mushab Ubai dan mushab Ibnu Mas’ud.Tetapi mushab-mushab itu tidak di tulis dengan cara seperti di atas dan tidak pula di kerjakan dengan penuh ketelitian dan ke cermatan, juga tidak di himpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak di mansuh dan secara ijma’ sebagaimana mushab Abu Bakar.
Para ulama’ bependapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan mushab, itu baru muncul pada saat itu (masa Abu Bakar). Mengenai hal itu Ali berkata” orang yang paling besar pahalanya berkenaan dengan mushab ialah Abu Bakar . Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah.” Jam’u Al-Qur’an pada periode Abu Bakar ini di namakan jam’u Al-Quran al-tsani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).
5. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman
Setelah wilayah kekuwasaan Islam semakin luas, dan para qurra’ tersebar di berbagai wilayah dan biasanya para penduduk mempelajari qira’at ( bacacaan) ayat dari qori’ yang di kirim pada mereka bacaan merekapun berbeda-beda relefan dengan perbedaan dengan huruf-huruf yang dengan itu Al-Qur’an diturunkan. Terkadang sebagian dari mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan- perbeedaan itu disandarkan kepada Rasulullah. Namun keadaan yang sedemikian tidak dapat menbendung keraguan di benak generasi baru yang tidak berjumpa Rasulullah sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku
Perbadaan ini memuncak ketika penyerbuan Arminia dan Azirbaijan dari penduduk irak, sebagian besar bacaan itu bercampur dengan ketidak fasihan (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:162) masing-masing dari mereka mempertahankan bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan puncaknya saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian, Dzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan padanya apa yang telah terjadi. Para sahabat sangat memperhatinkan kenyataan ini karena takut kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka barsepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan-bacaan baku pada satu huruf .
Menanggapi masalah tersebut, kemudian Utsman mengirim utusan kepada Habsah yang tujuannya untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya, dan langkah selanjutnya yaitu Utsman memerintahkan kepada Zaid binTsabit Al-Anshari, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Azzubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harid bin Hisyam (orang qurais) agar menyalin dan memperbanyak musha (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:163), jika dalam penyalinan tersebut terdapat perbedaan antara Zaid dan ketiga orang qurais, hendaklah di tulis dalam bahasa qurais, karena Al-Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka.
6. Perbedaan antara pengumpulan Al- Qur’an di masa Abu Bakar dan Utsman
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pengumpulan Al-Qur’an Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan Al-Qur’an yang di lakukan utsman baik dari segi latar belakang maupun mitodanya. Motifasi Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena banyaknya para qurra’ yang gugur dalam peperangan (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:167) Sedangkan motifasi Abu Bakar karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an yang puncaknya dengan adanya perbedaan tersebut mereka saling mengalahkan satu dengan yang lain.
Pengumpulan Al-Qur’an yang di lakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang, pelapah, kurma dan sebagainya kemudian di kumpulkan dalam satu mushaf. Tulisan-tulisan tersbut di kumpulkan dengan ayat-ayat dan surat-suratnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak di mansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Al-Qur’an di turunkan. Sedangkan pengumpulan yang di lakukan Utsman adalah menyalinnya satu huruf di anatara ketujuh huruf itu untuk mempersatukan kaum muslim dalam satu mushab dan satu huruf yang mereka baca tanpa enam huruf lainnya (diriwayatkan oleh Ibnu Athin dan lainnya).
Mengenai jumlah Al-qur’an yang di kirimkan oleh Ustman ke-berbagai daerah, para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushab yang dikirim di Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibnu Abi Daud mengatakan, ”aku mendengar Abu Khatim Asjistani berkata, “ telah di tulis tujuh buah mushab, lalu di kirimkan ke Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah.”Ada juga yang mengatakan ada empat buah mushab yang masing-masing di kirimkan ke Irak, syam, Mesir dan mushab Imam. Abu Amru Addani berkata dalam Al-Muqni” sebagian besar ulama’ bependapat bahwa ketika Utsman menulis mushab-mushab itu, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan, lalu di kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah; ke-Kufah, Basrah, Syam, dan di di tinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
7. Tertib Ayat dan Surat
Al-qur’an merupakan kitab suci yang di dalamnya terdiri dari surat dan ayat-ayat. Pengertian dari surat sendiri yaitu sejumlah ayat al-qu’an yang mempuyai permulaan dan kesudahan (syekh manna’ al-qotthon, 2004: 174). Sedangkan arti dari ayat yaitu sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-qur’an. Mengenai tertib ayat dan surat al-qur’an merupakan suatu ketetapan dari yang bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah saw, menurut sebagian ulama’ pendapat ini merupakan ijma’. Penjelasan di atas di perkuat oleh Azzarkasi dalam Al-Burhan dan Abu Jakfar Ibnu Azzubair dalam munasabahnya mengatakan, “ tertib ayat –ayat didalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa di perselisihka kaum muslimin.”
Jibril menurunkan ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu di letakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut, beliau bersabda kepada mereka,”letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya di sebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu.”( Al-Itqan,lihat maktabah samilah). Susunan dan penetapan ayat tersebut adalah sebagai mana yang telah di sampaikan oleh para sahabat kepada kita.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an sepeti yang ada di dalam mushab yang beredar diantara kita adalah tauqifi, yang tidak di ragukan lagi. Komentar Assuyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surat-surat tertentu, “ pembacaan surat-surat yang di lakukan nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayat al-Qur’an adalah tauqifi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tartib yag berbeda dengan yang mereka dengar dari nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawattir “(Al-Itqan lihat maktaba samilah).
8. Tertib surat
Para ulama’ berbeda pendapat tentang tertib surat-surat al-Qur’an yang ada sekarang
a. Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan di tangani langsung oleh nabi sebagaiman di beri tahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah.
pendapat di atas berdalil bahwa Rasulullah telah membaca surat secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa nabi pernah membaca beberapa surat mufassal (surat-surat pendek).
b. Kelompok kedua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib dalam mushab-mushab mereka. Misalnya mushab Ali di susun menurut tertib nuzul, yakni di mulai dengan iqra’ kemudian Al-Mudassir dan seterusnya hingga akhir surat Makkah Madaniyah.
Adapun dalam mushab Ibnu Mas’ud, yang pertama di tulis adalah Al-Baqarah, Annisa’ lalu di susul Al-Imron, sedangkan dalam mushab Ubai, yang pertama di tulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, oAnnisa’, lalu Ali-Imrn.
c. Kelompok ketiga berpendapt sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat di masa nabi As-sab’u ath al-hawamim al- mufashshal di masa hidup Rasulullah
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua yang menyatakan tartib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidaklah bersandar pada suatu dalil. Sebab ijtihad sebagian sahabat mengenai tartib mushab mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum al-Qur’an di kumpulkan secara tertib ketika di Utsman di kumpulkan, di tertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya pada suatu dialek, umatpun sepakat maka mushab-mushab yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushabnya masing-masing.
Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian: Ath-Thiwal, Al-Mi’in, Al-Matsan dan Al-mufassal (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:181). Berikut ini akan kami kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
a. Ath-Athiwal ada tujuh surat, yaitu Al-Baqarah, Al-Imron,Al-Nisa’,Al-Maidah,Al-An am Al-A’raf dan yang ketuju ada yang mengatakan Al-Anfal dan Bara’ah juga termasuk karena tidak di pisahkan dengan basmalah di antara keduanya adapula yang berpendapat bahwa yang ketuju adalah surat yunus.
b. Al-Mi’un adalah surat-surat yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
c. Al-Matsani adalah surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah Al-Mi’un. Di namakan Al-Matsanai karena surat-surat itu di ulang-ulang bacaannnya lebih banyak dari ath-thiwal dan Al-Mi’un.
d. Al-Mufassal adalah dikatakan bahwa surat-surat ini di mulai dari Qaf, adapula yang mengatakan di mulai dari surat Al-Hujurat. Mufasal di bagi menjadi tiga’, Thiwal, Austh,dan kisshar (syekh manna’ al-qotthon, 2004: 182). Thiwal di mulai dari srurat Qaf atau Al-Hujarat sampai dengan ‘amma atau Al-Buruj, Austh di mulai dari surat ‘amma atau Al-Buruj atau Al-dhuha atau lam yakun, dan kisshar di mulai dari adhuha atau lamyakun sampai dengan surat Al-Qur’an yang lain.
Dinamakan mufassal karena banyaknya fashl (banyaknya pemisah) di antara surat-surat tersebut dengan basmalah jumlah surat Al-Qur’an terdapat seratus empat belas surat ada yang berpendapat julmlahnya seratus tiga belas, karena surat Al-Anfal dan Bara’ah di anggap satu surat. Adapun jumlah ayatnya enam ribu dua ratus ayat. Ayat yang lebih dari itu terdapat perbedaan pendapat. Ayat terpanjang adalah ayat tentang utang piutang dan surat terpanjang adalah surat Al-Baqarah (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:182).
9. Rasm Utsmani
Kita telah membicarakan tentang pengumpulan al-qur’an pada masa Utsman. Zaid dan tiga orang qurais telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan al-qur’an yang disetujui oleh Utsman. Para ulama menamakan metode itu dengan sebutan Al-rasm Al-‘Utsmani Lil Mushaf (penulisan mushaf utsmani) (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:182), satu nama yang dinisbatkan kepada Utsman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang setatus hukumnya.
1. Ada yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani untuk al-qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan al-qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan.
2. Ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa Rasm Utsman ini bukan tauqifi dari nabi, tetapi hanya satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima marakat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
3. Sebagian ulama lain berpendapat, Rasm Utsman itu hanyalah sebutan istilah, metode dan tidaklah mengapa berbeda dengannya jika orang menggunakan satu model Rasm tertentu dalam penulisan, kemudian Rasm itu tersebar luas diantara mereka.
Abu Bakar Al-Baqillani menyebutkan dalam kitabnya Al-Intishar, “tak ada yang diwajibkan oleh Allah dalam hal penulisan mushaf” (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:184). Karena itu para penulis al-qur’an dan mushaf tidak diharuskan menggunakan khat tertentu. Dan mengenai penulisan al-qur’an atau penulisan mushaf, dalam nash-nash atau konsep al-qur’an tidak menjelaskan bahwa penulisan itu hanya dibolehkan menurut cara khusus dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar. Dalam nash juga tidak terdapat satu keterangan pun yang mewajibkan dan menunjukan hal tersebut. Bahkan sunnah menunjukkan dibolehkanya penulisan al-qur’an menurut cara yang mudah sebab Rasulullah menyuruh untuk menyuruhnya tetapi tidak menjelaskaan kepada mereka atau melarang seorang menuliskanya dengan cara tertentu. Sehingga berbeda-beda penulisan al-qur’an. Diantara mereka ada yang menuliskan kata menurut pengucapan lafadz dan ada pula yang menambah atau yang mengurangi karena dia tahu bahwa yang demikian itu hanya berupa cara. Ringkasnya, dari penjelasan Abu Bakar Al- baqillani yaitu setiap orang yang mengatakan bahwa manusia harus mengikuti Rasm tertentu yang wajib diikuti, yang harus menunjukkan hujjah atas kebenaran pendapatnya. Dan tentu saja ia tidak dapat menunjukkanya.
Bertitik dari pendapat ini, sebagian orang sekarang menyerukan untuk menuliskan al-qur’an yang sesuai dengan kaidah-kaidah imlak yang sedang tersebar luas dan diakui, sehingga akan memudahkan para pembaca yang sedang belajar membacanya. Dan saat membaca al quran ia tidak merasakan tidak ada perbedaan Rasm al-qur’an dengan kaidah Rasm Imlak yang dipelajari itu.
KESIMPULAN
Dari keterangan di atas sangat jelas sekali bahwa al-Qur’an memang benar-benar di jaga keasliannya oleh Allah SWT. dengan cara memberi kemudahan bagi nabi Muhammad dalam mengafalnya. Sehingga orang-orang yang hidup dalam masanya sangat mudah untuk menghafal al-qur’an dan memahaminya. Namun ketika zaman Abu Bakar orang-orang yang hafal Al-Qur’an yang meninggal dalam peperangan, maka Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan surat-surat Al-Quran yang di tulis di kulit, tulang, dan pelapah kurma sehingga di susun menjadi satu mushab. Dan ketika masa utsman, terdapat banyak perbedaan mengenai bacaan al-qur’an yang berujung kepada saling mengkafirkan. Keadaan tersebut membuat Utsman resah dan pada akhirnya Utsman melakukan perbaikan dan mengumpulkan al-qur’an dalam satu mushaf yang kita kenal dengan Mushaf Utsmani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’. Mabahis fi Ulumi Al-Qur’an, Riyad, Cet-3, 1973
As-shalih, Subhi. Membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Cet-7, 1999
Maktabah syamilah (Al-itqon, Al-Burhan, dan Jam’u Al-quran Al-Karim khifdzon wa kita bati Al-‘id)
Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah swt. Yang telah memberikan kami nikmat kesehatan, kesempatan dan nikmat-nikmat yang lain, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Jam’u Al-qur’an ini sesuai dengan yang kami harapakan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw. Yang telah membawa umatnya dari zaman yang penuh dengan kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Mengenai pembahasan yang akan kami bahas yaitu pembahasan tentang Jam’u Al-qur’an, tentunya banyak hal yang harus kami jelaskan mengenai pembahasan tersebut, seperti halnya; mulai sejak kapan al-qur’an dikumpulkan, dalam bentuk apa pertama kali al-qur’an dikumpulkan, pada masa siapa saja proses pengumrpulan al-qur’an, dan sampai al-qur’an terkumpul menjadi satu mushaf yang kita kenal dengan Rasm Utsmani. Yang nantinya pembahasan ini dapat menunjang kita agar lebih mudah untuk memahami tentang Jam’u Al-qur’an.
Sehingga dengan adanya pembasan ini, kami berharap paembahasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi kita yang sedang mempelajari tentang Ulumu Al-qur’an.
PENGUMPULAN AL-QUR’AN
1. Pengertian
Para ulama mendefinisikan pengumpulan al-qur’an dengan dua pengertian, yaitu sebagai berikut:
Pertama; pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati). Sedangkan juma’u al-qur’an artinya hufazhuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang mengafalnya dalam hati) (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:160). Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah kepada nabi Muhammad saw. Dimana nabi selalu menggerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-qur’an ketika al-qur’an diturunkan oleh malaikat jibril kepadanya dan ketika itu malaikat jibril belum selesai membacakannya. Kedua; pengertian dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan al-qur’an semuanya) baik dengan memisah-misah ayat-ayat dan surat-suratnya, atau hanya mengatur susunan tiap surah di dalam suatu shahifah tersendiri (Subhi As-shaleh:1999,73).
2. Pengumpulan Alqur’an dalam konteks Hafalan Pada Masa Nabi
Pada masa ini, nabi Muhammad saw. Amat menyukai wahyau, beliau selalu menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu beliau menghafalkan dan memahaminya seperti yang dijelaskan Allah dalam al-qur’an “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkanya (di dadamu) dan pembacaanya.” (Al-qiyamah: 17). Oleh sebab itu beliau merupakan hafizh al-qur’an yang pertama dan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah islam. Al-qur’an diturunkan dalam kurun waktu yang panjang, dan dalam penurunanya terkadang hanya satu ayat dan terkadang sampai sepuluh ayat. Setiap kali ayat al-qur’an turun, dihafal di dada dan disimpan di dalam hati oleh orang-orang arab, yang diketahui bahwa secara kodrati mereka memang mempunyai daya hafalan yang kuat. Sebab kebanyakan dari mereka buta huruf, sehinggan dalam setiap penulisan berita-berita, syair-syair, dan silsilah mereka dilakukan dengan cara mencatatnya di dalam hati mereka.
Dalama kitab sahehnya Al-Bukhori telah mengemukakan tentang tujuh penghafal al-qur’an dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullan bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil maula Abi Hudzaifah, Muaz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zait bin Sakan dan Abu Al-Darda’. Salah satu dari ketiga riwayat itu adalah;
1. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Al-Ash, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “ambillah al-qur’an dari empat orang sahabatku; Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muaz, dan Ubay bin Ka’ab”. Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin, yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Salim; dan dua orang dari Anshar, yaitu muaz dan Ubay.( Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:152). Dan dua riwayat yang lain bisa dibaca dalam bukunya Syaikh Manna’ Al-Qathhan.
3. Penulisan Alqur’an dalam Konteks Penulisannya pada masa nabi
Dalam penulisan al-qur’an, nabi mengangkat beberapa asisten dari para sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab, dan Zait bin Tsabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukannya, dimana tempat ayat tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:152).
Sebagian sahabat juga menulis al-qur’an atas inisiatif sendiri. pada pelepah kurma, lempengan batu, papan tipis, kulit atau daun dan kayu, pelana dan potongan tulang-belulang binatang. Zait bin Tsabit berkata “kami menyusun al-qur’an di hadapan Rosulullah pada kulit binatang. Dan para sahabat senantiasa menyodorkan al-qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Dan tulisan-tulisan al-qur’an pada masa nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya yang ada di tangan seorang sahabat belum tentu ada di tangan sahabat yang lain.
Mengenai pengumpulan al-qur’an pada masa nabi, Al-Zarkasyi berkata, “Al-qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah al-qur’an selesai diturunkan semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah datafsirkan apa yang diriwayatkan oleh Zait bin Tsabit yang mengatakan, “Rasulullah telah wafat, sedang al-qur’an belum dikumpulkan sama sekali”. Maksudnya surat-surat dan ayat-ayatnya belum di kumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Dalam penjelasan diatas sangatlah jelas, bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa nabi hanya bersifat hafalan dan dalam bentuk tulisan-tulisan yang masih terdapat di lembaran-lembara, tulang, kulit, dan lain sebagainya.
4. pengumpulan al-qur’an pada masa Abu Bakar
Abu Bakar menjabat sebagai kholifah pertama dalam islam setelah Rosulullah saw wafat. Ia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan perang dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang murtad. Peperangan tersebut (perang Yamamah 12 H) melibatkan sebagian besar sahabat penghafal al-qur’an. Dan dalam peperangan itu tujuh puluh qori’ dari para sahabat gugur. Umar bin Al-khotob merasa sangat khawatir dengan adanya kejadian tersebut, lalu ia menghadap kepada Abu Bakar dan mengajukan usul untuk segera mengumpulkan al-qur’an dan membukukannya karena dikhawatikan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak memakan korban yang kebanyakan adalah para penghafal al-qur’an.
Akan tetapi Abu Bakar menolak usulan ini, karena ia merasa keberatan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi. Namun Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan pintu hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melekukan pengumpulan al-qu’an, karena mengingat kedudukannya dalam masalah qira’at, hafalan, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta kehadirannya dalam pembacaan yag terakhir kali. Pada mulanya Zaid menolak perintah tersebut, keduanya lalu bertukar pendapat, sehingga pada akhirnya Zaid dapat menerimanya dengan lapang dada.
Zaid memulai tugasnya dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra’ dan catatan yang ada pada para penulis. Zaid bertindak sangat teliti dan hati-hati. Baginya tidak cukup hanya bergantung pada hafalan semata tanpa di sertai dengan tulisan. Kemudian lembaran-lembaran al-qur’an yang ditulis oleh Zaid dan disimpan oleh Abu Bakar sampai beliau wafat pada tahun 13 H. Kemudian lembaran-lembaran tersebut berpindah ke tangan Umar dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian lembaran tersebut berpindah ke tangan Hafsah, putri Umar. Kemudian setelah Utsman menduduki kursi ke kholifahan ia berusaha untuk meminta lembaran-lembaran al-qur’an tersebut dari tangan Hafshah.
Ibnu Abi Daud meriwayatkan mealalui jalur sanat Yahya Bin Abdurrahman Bin Hathib,katanya” Umar datang lalu berkata: Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Al-Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya “. Mereka itu menuliskan Al-Quran pada lembar kertas papan kayu dan papan kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai Al-Qur’an sebelum di saksikan oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu di saksikan oleh orang yang menerimanya secara verbal langsung dari Rasul, sekalipun Zaid hafal. Ia bersifat demikian ini karena sangat berhati-hati
Assakhawi menyebutkan dalam jamal qurra’, yang di maksudkan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu di tulis di hadapan Rasulullah, atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Al-Quran di turunkan
Kita sudah mengetahui bahwa Al-Qur’an sudah tercatat sebelum pada masa itu yaitu pada masa nabi, hanya saja pada masa nabi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelapah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catan tersbut dalam satu mushab, dengan ayat-ayat dan surat-surat yang tersusun serta di tuliskan dengan berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Al- Qur’an di turunkan. Dengan demikian Abu Bakar merupakan orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushab, di samping terdapat mushab-mushab peribadi pada sebagian sahabat seperti mushab Ali, mushab Ubai dan mushab Ibnu Mas’ud.Tetapi mushab-mushab itu tidak di tulis dengan cara seperti di atas dan tidak pula di kerjakan dengan penuh ketelitian dan ke cermatan, juga tidak di himpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak di mansuh dan secara ijma’ sebagaimana mushab Abu Bakar.
Para ulama’ bependapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan mushab, itu baru muncul pada saat itu (masa Abu Bakar). Mengenai hal itu Ali berkata” orang yang paling besar pahalanya berkenaan dengan mushab ialah Abu Bakar . Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah.” Jam’u Al-Qur’an pada periode Abu Bakar ini di namakan jam’u Al-Quran al-tsani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).
5. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman
Setelah wilayah kekuwasaan Islam semakin luas, dan para qurra’ tersebar di berbagai wilayah dan biasanya para penduduk mempelajari qira’at ( bacacaan) ayat dari qori’ yang di kirim pada mereka bacaan merekapun berbeda-beda relefan dengan perbedaan dengan huruf-huruf yang dengan itu Al-Qur’an diturunkan. Terkadang sebagian dari mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan- perbeedaan itu disandarkan kepada Rasulullah. Namun keadaan yang sedemikian tidak dapat menbendung keraguan di benak generasi baru yang tidak berjumpa Rasulullah sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku
Perbadaan ini memuncak ketika penyerbuan Arminia dan Azirbaijan dari penduduk irak, sebagian besar bacaan itu bercampur dengan ketidak fasihan (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:162) masing-masing dari mereka mempertahankan bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan puncaknya saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian, Dzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan padanya apa yang telah terjadi. Para sahabat sangat memperhatinkan kenyataan ini karena takut kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka barsepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan-bacaan baku pada satu huruf .
Menanggapi masalah tersebut, kemudian Utsman mengirim utusan kepada Habsah yang tujuannya untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya, dan langkah selanjutnya yaitu Utsman memerintahkan kepada Zaid binTsabit Al-Anshari, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Azzubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harid bin Hisyam (orang qurais) agar menyalin dan memperbanyak musha (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:163), jika dalam penyalinan tersebut terdapat perbedaan antara Zaid dan ketiga orang qurais, hendaklah di tulis dalam bahasa qurais, karena Al-Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka.
6. Perbedaan antara pengumpulan Al- Qur’an di masa Abu Bakar dan Utsman
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pengumpulan Al-Qur’an Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan Al-Qur’an yang di lakukan utsman baik dari segi latar belakang maupun mitodanya. Motifasi Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur’an karena banyaknya para qurra’ yang gugur dalam peperangan (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:167) Sedangkan motifasi Abu Bakar karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an yang puncaknya dengan adanya perbedaan tersebut mereka saling mengalahkan satu dengan yang lain.
Pengumpulan Al-Qur’an yang di lakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang, pelapah, kurma dan sebagainya kemudian di kumpulkan dalam satu mushaf. Tulisan-tulisan tersbut di kumpulkan dengan ayat-ayat dan surat-suratnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak di mansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Al-Qur’an di turunkan. Sedangkan pengumpulan yang di lakukan Utsman adalah menyalinnya satu huruf di anatara ketujuh huruf itu untuk mempersatukan kaum muslim dalam satu mushab dan satu huruf yang mereka baca tanpa enam huruf lainnya (diriwayatkan oleh Ibnu Athin dan lainnya).
Mengenai jumlah Al-qur’an yang di kirimkan oleh Ustman ke-berbagai daerah, para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang mengatakan jumlahnya tujuh buah mushab yang dikirim di Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibnu Abi Daud mengatakan, ”aku mendengar Abu Khatim Asjistani berkata, “ telah di tulis tujuh buah mushab, lalu di kirimkan ke Mekkah, Syam, basrah, Kufah, Yaman, Bahrain, dan Madinah.”Ada juga yang mengatakan ada empat buah mushab yang masing-masing di kirimkan ke Irak, syam, Mesir dan mushab Imam. Abu Amru Addani berkata dalam Al-Muqni” sebagian besar ulama’ bependapat bahwa ketika Utsman menulis mushab-mushab itu, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan, lalu di kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah; ke-Kufah, Basrah, Syam, dan di di tinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
7. Tertib Ayat dan Surat
Al-qur’an merupakan kitab suci yang di dalamnya terdiri dari surat dan ayat-ayat. Pengertian dari surat sendiri yaitu sejumlah ayat al-qu’an yang mempuyai permulaan dan kesudahan (syekh manna’ al-qotthon, 2004: 174). Sedangkan arti dari ayat yaitu sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-qur’an. Mengenai tertib ayat dan surat al-qur’an merupakan suatu ketetapan dari yang bersifat tauqifi, berdasarkan ketentuan dari Rasulullah saw, menurut sebagian ulama’ pendapat ini merupakan ijma’. Penjelasan di atas di perkuat oleh Azzarkasi dalam Al-Burhan dan Abu Jakfar Ibnu Azzubair dalam munasabahnya mengatakan, “ tertib ayat –ayat didalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa di perselisihka kaum muslimin.”
Jibril menurunkan ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana ayat-ayat itu di letakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut, beliau bersabda kepada mereka,”letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya di sebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu.”( Al-Itqan,lihat maktabah samilah). Susunan dan penetapan ayat tersebut adalah sebagai mana yang telah di sampaikan oleh para sahabat kepada kita.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an sepeti yang ada di dalam mushab yang beredar diantara kita adalah tauqifi, yang tidak di ragukan lagi. Komentar Assuyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surat-surat tertentu, “ pembacaan surat-surat yang di lakukan nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayat al-Qur’an adalah tauqifi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tartib yag berbeda dengan yang mereka dengar dari nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawattir “(Al-Itqan lihat maktaba samilah).
8. Tertib surat
Para ulama’ berbeda pendapat tentang tertib surat-surat al-Qur’an yang ada sekarang
a. Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan di tangani langsung oleh nabi sebagaiman di beri tahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah.
pendapat di atas berdalil bahwa Rasulullah telah membaca surat secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa nabi pernah membaca beberapa surat mufassal (surat-surat pendek).
b. Kelompok kedua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib dalam mushab-mushab mereka. Misalnya mushab Ali di susun menurut tertib nuzul, yakni di mulai dengan iqra’ kemudian Al-Mudassir dan seterusnya hingga akhir surat Makkah Madaniyah.
Adapun dalam mushab Ibnu Mas’ud, yang pertama di tulis adalah Al-Baqarah, Annisa’ lalu di susul Al-Imron, sedangkan dalam mushab Ubai, yang pertama di tulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, oAnnisa’, lalu Ali-Imrn.
c. Kelompok ketiga berpendapt sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat di masa nabi As-sab’u ath al-hawamim al- mufashshal di masa hidup Rasulullah
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua yang menyatakan tartib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidaklah bersandar pada suatu dalil. Sebab ijtihad sebagian sahabat mengenai tartib mushab mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum al-Qur’an di kumpulkan secara tertib ketika di Utsman di kumpulkan, di tertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya pada suatu dialek, umatpun sepakat maka mushab-mushab yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushabnya masing-masing.
Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian: Ath-Thiwal, Al-Mi’in, Al-Matsan dan Al-mufassal (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:181). Berikut ini akan kami kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
a. Ath-Athiwal ada tujuh surat, yaitu Al-Baqarah, Al-Imron,Al-Nisa’,Al-Maidah,Al-An am Al-A’raf dan yang ketuju ada yang mengatakan Al-Anfal dan Bara’ah juga termasuk karena tidak di pisahkan dengan basmalah di antara keduanya adapula yang berpendapat bahwa yang ketuju adalah surat yunus.
b. Al-Mi’un adalah surat-surat yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
c. Al-Matsani adalah surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah Al-Mi’un. Di namakan Al-Matsanai karena surat-surat itu di ulang-ulang bacaannnya lebih banyak dari ath-thiwal dan Al-Mi’un.
d. Al-Mufassal adalah dikatakan bahwa surat-surat ini di mulai dari Qaf, adapula yang mengatakan di mulai dari surat Al-Hujurat. Mufasal di bagi menjadi tiga’, Thiwal, Austh,dan kisshar (syekh manna’ al-qotthon, 2004: 182). Thiwal di mulai dari srurat Qaf atau Al-Hujarat sampai dengan ‘amma atau Al-Buruj, Austh di mulai dari surat ‘amma atau Al-Buruj atau Al-dhuha atau lam yakun, dan kisshar di mulai dari adhuha atau lamyakun sampai dengan surat Al-Qur’an yang lain.
Dinamakan mufassal karena banyaknya fashl (banyaknya pemisah) di antara surat-surat tersebut dengan basmalah jumlah surat Al-Qur’an terdapat seratus empat belas surat ada yang berpendapat julmlahnya seratus tiga belas, karena surat Al-Anfal dan Bara’ah di anggap satu surat. Adapun jumlah ayatnya enam ribu dua ratus ayat. Ayat yang lebih dari itu terdapat perbedaan pendapat. Ayat terpanjang adalah ayat tentang utang piutang dan surat terpanjang adalah surat Al-Baqarah (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:182).
9. Rasm Utsmani
Kita telah membicarakan tentang pengumpulan al-qur’an pada masa Utsman. Zaid dan tiga orang qurais telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan al-qur’an yang disetujui oleh Utsman. Para ulama menamakan metode itu dengan sebutan Al-rasm Al-‘Utsmani Lil Mushaf (penulisan mushaf utsmani) (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:182), satu nama yang dinisbatkan kepada Utsman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang setatus hukumnya.
1. Ada yang berpendapat bahwa Rasm Utsmani untuk al-qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan al-qur’an, dan harus sungguh-sungguh disucikan.
2. Ada sebagian lagi yang mengatakan bahwa Rasm Utsman ini bukan tauqifi dari nabi, tetapi hanya satu cara penulisan yang disetujui Utsman dan diterima marakat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.
3. Sebagian ulama lain berpendapat, Rasm Utsman itu hanyalah sebutan istilah, metode dan tidaklah mengapa berbeda dengannya jika orang menggunakan satu model Rasm tertentu dalam penulisan, kemudian Rasm itu tersebar luas diantara mereka.
Abu Bakar Al-Baqillani menyebutkan dalam kitabnya Al-Intishar, “tak ada yang diwajibkan oleh Allah dalam hal penulisan mushaf” (Syaikh Manna’ Al-Qathhan,2004:184). Karena itu para penulis al-qur’an dan mushaf tidak diharuskan menggunakan khat tertentu. Dan mengenai penulisan al-qur’an atau penulisan mushaf, dalam nash-nash atau konsep al-qur’an tidak menjelaskan bahwa penulisan itu hanya dibolehkan menurut cara khusus dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar. Dalam nash juga tidak terdapat satu keterangan pun yang mewajibkan dan menunjukan hal tersebut. Bahkan sunnah menunjukkan dibolehkanya penulisan al-qur’an menurut cara yang mudah sebab Rasulullah menyuruh untuk menyuruhnya tetapi tidak menjelaskaan kepada mereka atau melarang seorang menuliskanya dengan cara tertentu. Sehingga berbeda-beda penulisan al-qur’an. Diantara mereka ada yang menuliskan kata menurut pengucapan lafadz dan ada pula yang menambah atau yang mengurangi karena dia tahu bahwa yang demikian itu hanya berupa cara. Ringkasnya, dari penjelasan Abu Bakar Al- baqillani yaitu setiap orang yang mengatakan bahwa manusia harus mengikuti Rasm tertentu yang wajib diikuti, yang harus menunjukkan hujjah atas kebenaran pendapatnya. Dan tentu saja ia tidak dapat menunjukkanya.
Bertitik dari pendapat ini, sebagian orang sekarang menyerukan untuk menuliskan al-qur’an yang sesuai dengan kaidah-kaidah imlak yang sedang tersebar luas dan diakui, sehingga akan memudahkan para pembaca yang sedang belajar membacanya. Dan saat membaca al quran ia tidak merasakan tidak ada perbedaan Rasm al-qur’an dengan kaidah Rasm Imlak yang dipelajari itu.
KESIMPULAN
Dari keterangan di atas sangat jelas sekali bahwa al-Qur’an memang benar-benar di jaga keasliannya oleh Allah SWT. dengan cara memberi kemudahan bagi nabi Muhammad dalam mengafalnya. Sehingga orang-orang yang hidup dalam masanya sangat mudah untuk menghafal al-qur’an dan memahaminya. Namun ketika zaman Abu Bakar orang-orang yang hafal Al-Qur’an yang meninggal dalam peperangan, maka Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan surat-surat Al-Quran yang di tulis di kulit, tulang, dan pelapah kurma sehingga di susun menjadi satu mushab. Dan ketika masa utsman, terdapat banyak perbedaan mengenai bacaan al-qur’an yang berujung kepada saling mengkafirkan. Keadaan tersebut membuat Utsman resah dan pada akhirnya Utsman melakukan perbaikan dan mengumpulkan al-qur’an dalam satu mushaf yang kita kenal dengan Mushaf Utsmani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’. Mabahis fi Ulumi Al-Qur’an, Riyad, Cet-3, 1973
As-shalih, Subhi. Membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Cet-7, 1999
Maktabah syamilah (Al-itqon, Al-Burhan, dan Jam’u Al-quran Al-Karim khifdzon wa kita bati Al-‘id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar